IntenNews.com | Labuhanbatu, 23 September 2025 - Praktik jual beli jabatan yang mainkan dengan bijak oleh Pemimpin terpilih pemenang pilkada yang dikelola oleh kalangan keluarga ke keluarga penguasa ataupun oknum tim sukses bukanlah sekedar isu lokal di daerah - daerah. Karena budaya jual beli jabatan di kalangan pemimpin Kepala Daerah sudah menjadi isu nasional seperti isu kecil kasus terbaru mencuat di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Modusnya : Uang setor puluhan juta rupiah untuk jabatan Plt Kepala Sekolah, lalu tambahan lagi agar dilantik definitif. Ada calo di lingkungan Dinas Pendidikan, ada oknum pejabat, bahkan ada “koordinator lapangan” yang bertugas mengumpulkan uang dari calon kepala sekolah, Isunya.
Untuk menjadi Plt Kepala Sekolah SD tarifnya Rp. 20 juta, sementara untuk dilantik definitif, calon harus setor Rp 40 juta. Isunya terjadi, Di Pemalang, Jawa Tengah, tahun 2022, 10 Kepala Sekolah baru dilantik menyetor total Rp. 340 juta, ditambah Rp. 158 juta dari Koordinator Kecamatan.
Di Nganjuk, Jawa Timur, KPK bahkan mencatat aliran dana hampir Rp. 1 Miliar untuk jual beli jabatan, termasuk posisi Kepala Sekolah.di Klaten, dengan nilai suap Rp. 2 Miliar lebih dan di Jombang dengan Rp. 2,5 Miliar. Semua angka itu menunjukkan pola yang sama, mainan yang sama dari jual beli jabatan Kepala Sekolah. Dan itu hanyalah sebagian kecil yang mencuat ke permukaan.
Bukan berarti yang tidak muncul ke permukaan dapat kategori aman dari mainan jual beli jabatan.Tidak sama sekali, walaupun golongan pangkat cukup tapi rekam jejak tidak mengikuti kelayakan sesuai prosedurnya. Karena pengantin alias ada orang dalam yang mengatur.
Yang membuat aman itu justru yang ingin mencapai jabatan itu dengan membayar tapi kalah nominal dengan orang lain dan dia tidak mau bernyanyi kalau dia sudah setor. Bahkan dijanjikan uangnya kembali utuh namun nyatanya kembalinya separuh pun dia tak kuat nyanyi karena malu sudah malu - maluin di depan jadi tak kuasa berkata di belakang.
Itulah mental pejabat yang ikut dalam pertarungan ikut seleksi jabatan yang diperjual beli. Mentalnya hanya nafsu lihat dana hibah pada instansi atau kedinasan yang akan dipimpinnya.
Sebenarnya mudah saja untuk melihat suatu instansi atau kedinasan di pemerintah daerah untuk melihat apakah yang menjabat di sana itu mendapatkan jabatannya dengan cara membeli ataupun dengan cara setoran. Lihat saja instansi atau kedinasan tersebut tidak ada maju - majunya kinerjanya untuk masyarakat dan lihat saja dana hibah yang didapat di instansi atau kedinasan tersebut, ada bermanfaat untuk internalnya atau ke masyarakat dampaknya.
Tentunya Badan Pemeriksa Keuangan dan Inspektorat lebih tahu bukan sama - sama saling tahu. Karena pejabat yang mendapatkan jabatan dari praktek jual beli jabatan yang diatur oleh kalangan keluarga dan tim sukses pemimpin suatu daerah yang menang dalam pilkada sesungguhnya adalah pejabat perampok yang digaji rakyat lewat negara.
(SigondrongDalamDiam)