|

Menghilangkan Budaya, Memalukan di Produk Undang-undang


IntenNews.com | Sumut
- Dimulai dari tahun 2001 dunia memasuki abad 21 ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan otomatisasi, yang berimplikasi pada perubahan gaya hidup, dunia kerja, dan pendidikan. Kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan inovasi ramah lingkungan juga mengalami kemajuan signifikan, sampai saat ini. Sementara Indonesia yang pernah dijajah Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, dan Jepang. 

Tetapi Indonesia sekelompok oknum masih tetap berupaya menjajah bangsanya sendiri di segala sektor tak terkecuali di sektor pendidikan dengan produk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terutama Pasal 76 c yang melarang kekerasan terhadap anak dan Pasal 80 yang mengatur sanksi pidananya. 

Sanksi pidananya dapat berupa penjara dan/atau denda, yang beratnya tergantung pada tingkat luka yang dialami korban. Selain itu, hukuman dapat juga dijerat dengan Pasal 352 Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama atau Pasal 471 KUHP baru untuk kasus penganiayaan ringan. 

Namun ironisnya undang - undang perlindungan guru yang diatur dalam undang - undang utama seperti UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional hanyalah sebatas produk undang-undang yang minim pelaksanaannya. 

Pada hal undang-undang ini mencakup perlindungan hukum, profesional, serta keselamatan dan kesehatan kerja dari ancaman, kekerasan, dan perlakuan tidak adil. Selain itu, terdapat peraturan pelaksana seperti Permendikbud No. 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang merinci bentuk-bentuk perlindungan tersebut. Namun faktanya para pendidik di satuan tempatnya mengajar selalu menjadi sasaran penjajahan dari orangtua/wali murid yang menitipkan anak-anaknya guna mendapatkan ilmu di sekolah. 

Entah berapa banyak kasus para pendidik yang tersangkut dalam metode ancaman pidana yang didapatkan berkat jajahan produk Undang-undang perlindungan anak dalam melaksanakan profesinya dan malangnya organisasi (PGRI) yang seharus memberikan perlindungan profesi kebanyakan tidak berdaya menghadapi tuntutan pidana yang dialamatkan kepada para anggotanya

Menghilangnya Budaya Malu Murid dan Orangtua/wali murid 

Proses yang terencana untuk menanamkan, mengembangkan, dan memperkuat nilai-nilai luhur seperti moral, etika, dan karakter pada peserta didik disebut pendidikan nilai. Dimana pendidikan nilai ini hanya didapat di ruang lingkup sekolah yang dilindungi secara undang-undang dengan tujuan membentuk karakter, menumbuhkan kesadaran, mengembangkan keterampilan sosial, menanamkan nilai kebangsaan, memfasilitasi pemecahan masalah yang mengajarkan berpikir kritis dan bertanggung jawab pada siswa/i.

Tetapi sangat bertolak dengan kebanyakan yang terjadi. Kemajuan informasi yang sekarang ini dapat dengan mudah diakses berdampak hilangnya rasa malu pada murid, wali murid bahkan guru itu sendiri. 

Seperti contoh: Seorang guru atau kepala sekolah melakukan penamparan kepada siswanya karena siswanya kedapatan merokok lalu siswanya melaporkan tindakan itu kepada orangtua wali muridnya inilah yang dikatakan hilangnya rasa malu siswa tersebut dan orangtua murid dimana si murid tidak malu melaporkan perilaku buruknya kepada orangtuanya. Dan si orangtua murid pun tidak malu juga membela anaknya yang berperilaku buruk di sekolah, alhasil guru maupun kepala sekolah menghadapi tuntutan pidana. Lucunya siswa dan orangtua murid yang membuat laporan pidana ke pihak aparat hukum. 

Menerima laporan tersebut dan pihak aparat hukum sudah benar melakukan tugasnya sebagai aparat yang melayani masyarakat tapi belum tentu benar menjalankan tugasnya sebagai yang mengayomi. Kenapa demikian, seharusnya pihak aparat tidak buru-buru membungkus laporan tersebut menjadikan selembar surat tanda bukti laporan mengingat korban yang dalam hal ini masih tercatat sebagai murid. 

Dimana seorang murid maka status orang tuanya adalah guru atau kepala sekolah di tempatnya menuntut ilmu maka selayaknya dikembalikan laporan tersebut kepada pihak sekolah tempat murid tersebut dibentuk karakter, menumbuhkan kesadaran, mengembangkan keterampilan sosial. Serta menanamkan nilai kebangsaan sehingga produk undang-undang tidak menjadi produk penjajahan yang dapat menguntungkan sekelumit orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Apakah mungkin ketidaktahuan akan turunan peraturan sehingga terjadi hal demikian mungkin dapat disimpulkan demikian mengingat pihak aparat hanya menindaklanjuti dari aduan kekerasannya saja terhadap anak tetapi tidak jauh mendalami kelakuan anak yang telah melanggar Permendikbud nomor 64 pasal 5 dimana mengatur "Kepala Sekolah, Guru satuan pendidik peserta didik dan pihak lain dilarang merokok, menjual, mengiklankan atau mempromosikan anti rokok dilingkungan Sekolah. Ini artinya Sekolah adalah area anti rokok "Bukan area bebas rokok"

Hilangnya Budaya Malu para Kepala Sekolah, Guru dan Tenaga Pendidik di Abad 21 dimana teknologi dan Informasi ifu berkembang sangat cepat kehilangan budaya malu itu bukan hanya pada Siswa/i orangtua/wali murid seperti dicontohkan diatas tetapi juga terjadi di dalam lingkup sekolah itu sendiri. Dimana pungutan yang mengatasnamakan sumbangan selalu menjadi jurus di tiap-tiap sekolahan. Belum lagi tanda terima kasih yang seringkali dianggap hal biasa dalam lingkungan satuan pendidikan menjadikan penyebab mendasar budaya malu itu sudah hilang, ditambah lagi kelakukan kepala sekolah yang kerap kali menyalahgunakan wewenangnya sebagai kepala sekolah dengan melakukan praktek korupsi seperti Dana Bos. 

Terlihat wajar memang kalau tidak dipikirkan dengan pikiran yang melayani dan melindungi, pungutan yang mengatasnamakan sumbangan, tanda terima kasih yang diperuntukan oleh murid orang tua/wali murid kepada guru maupun perilaku korupsi yang dilakukan kepala sekolah karena:"Jabatan tidak gratis". Tetapi menjadi tidak wajar jika dipikirkan dengan pikiran melayani dan melindungi karena guru bagi negara adalah fondasi yang ditugaskan mencerdaskan bangsa, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral serta nasionalisme,Guru adalah martabat bangsa. 

Negara harus hadir bukan sebagai penengah dalam produk semua undang-undang tetapi bukan hanya sekedar pembuat undang-undang melainkan negara harus hadir sebagai yang melaksanakan, dan menegakkan undang - undang untuk menjaga ketertiban, menegakkan keadilan, serta mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sehingga budaya memalukan tidak ditemui dalam kesatuan negara ini.

(SigondrongDalamDiam)

Komentar

Berita Terkini