|

Bahasa Yang Jadi Minoritas Di Kabupaten Labuhanbatu

Ket. Foto : Sigondrong Dalam Diam (Penulis, Pemerhati dan Penggiat Seni)
IntenNews.com | Sejarah Singkat Berdirinya Kabupaten Labuhanbatu.

Kabupaten Labuhanbatu adalah salah satu Kabupaten dimana dulunya masuk ke dalam keresidenan Sumatera Timur. Yakni sebuah wilayah administratif di masa kolonial Hindia Belanda, yang dibagi menjadi 5 keresidenan yaitu : Kesultanan Kota Pinang, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Bilah, dan Kesultanan Panai. Kesultanan Bilah.

Kesultanan Bilah adalah cikal bakal lahirnya Kabupaten Labuhanbatu tepatnya setelah 2 bulan Soekarno Hatta membacakan teks Proklamasi maka pada tanggal 17 Oktober 1945 Kabupaten Labuhanbatu terjadi, namun sah berdirinya pada 24 November 1956. berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956 dengan memiliki luas wilayah 9.223,18 km². dan didominasi oleh suku Batak (Angkola, Mandailing, Toba, dan sebagian Karo, Nias serta Pakpak) Melayu, dan Jawa. Selain itu, terdapat juga suku lain seperti Minangkabau, Aceh, dan Tionghoa.

Pada tahun 2008 berdasarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2008 dan Undang-undang nomor 22 tahun 2008 Kabupaten Labuhanbatu dimekarkan menjadi tiga bagian yakni Kabupaten Labuhanbatu Utara,Labuhanbatu Selatan dan Labuhanbatu Induk. 

Adat Budaya Yang Masih Dapat dijumpai 

Sebagai Kabupaten yang berlatar belakang bekas kerajaan Kesultanan Kota Pinang, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Bilah, dan Kesultanan Panai. Kesultanan Bilah maka sangatlah wajar jika adat istiadat budaya Melayu sangat mempengaruhi Kabupaten ini dari sebelum dimekarkan menjadi 3 bagian Kabupaten hingga kini pun tetap kental terlihat di Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Labuhanbatu Induk.

Ini dapat dilihat pada cara ketiga Pemerintahan Kabupaten tersebut dalam hal menyambut tamu dengan ritual Tepung Tawar, Tari Persembahan dan Pencak Silat. Sedangkan untuk masyarakatnya sendiri budaya melayu yang masih dapat dijumpai seperti ritual Mengayunkan Anak (menabalkan nama). 

Bahasa Bilah dan Panai dan Sungai Bilah 

Uniknya lagi di ketiga Kabupaten tersebut yang hanya ada penuturan dialek bahasa Melayu Bilah dan Panai itu hanya ada di Kabupaten Labuhanbatu Induk. Dialek bahasa melayu yang dituturkan ini memiliki beberapa perbedaan bunyi bahasa dengan dialek Melayu lainnya di pesisir Sumatera Timur. khususnya dalam pelafalan huruf 'r' yang terdengar sengau, mirip dengan 'gh'. walau dialek bahasa Bilah dan Panai kini menjadi bahasa minoritas di buminya sendiri namun itu menjadi salah satu bukti kalau Kesultanan Bilah dan Kesultanan Panai ada dan pernah jaya pada masanya. 

Lebih uniknya lagi hanya di Labuhanbatu Induk terdapat Sungai Bilah yang menjadikan inspirasi bagi Sutan Tahir Indra Alam yang memiliki darah keturunan dari Kesultanan Pinang Awan yang berada di Kota Pinang mendirikan Kesultanan Bilah pada tahun 1630. Menamakan Kesultanan Bilah mengambil makna Bilah yakni sebilang atau sepotong pohon yang berasal dari pohon nibung (rotan atau bambu) yang hanya tumbuh di pinggiran sungai.

Namun sejak dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1945 dan sejak berdiri pada tanggal 24 November 1956 dan Sejak dimekarkan pada tahun 2008 Kabupaten Labuhanbatu Induk masih jauh dari kata kemajuan padahal pada masa kerajaan Kesultanan Bilah memberikan kontribusi penting tidak hanya sebagai jalur perdagangan tapi juga sebagai peradaban di wilayah Sumatera Timur.

Pelestarian Dialek Penuturan Bahasa Bilah dan Panai 

Mungkin untuk mengembalikan kejayaan Sungai Bilah sebagai jalur perdagangan dan penghubung karena dulunya sungai terbesar di wilayah Labuhanbatu yang bermuara sampai ke Selat Malaka itu saat ini sangat mustahil. Namun menyelamatkan dialek bahasa Melayu yang dituturkan di wilayah bekas Kesultanan Bilah dan Kesultanan Panai yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Labuhanbatu dan kini menjadi bahasa minoritas dikarenakan hanya menjadi bahasa Ibu bagi masyarakat setempat yang dari waktu ke waktu terancam punah bila tidak dilestarikan. Apalagi di era saat ini dimana budaya malas membaca mewabah hebat, belum lagi menghadapi tantangan dalam pelestariannya di tengah dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing di bumi yang mempunyai semboyan Ika Bina En PaBolo ini (Disini dibina dan di sana diperbaiki) bukanlah hal yang mustahil jika para pejabat-pejabatnya yang menjabat di pemerintah Kabupaten tersebut menganut falsafah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung dengan menambahkan dialek bahasa Bilah dan Panai ke kurikulum sekolah menjadikannya sebagai mata pelajaran wajib melalui muatan lokal.


Penulis, Si gondrong Dalam Diam (Pemerhati, Penulis dan Pelaku serta Penggiat Seni).

Komentar

Berita Terkini